PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Ada dua
hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, yang membedakan dari
segala entitas kehidupan lainnya dimuka bumi. Dua hal tersebut adalah memahami
dan menafsirkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam sejarah intelektual
manusia banyak ditemui para tokoh di bidang keahliannya masing-masing yang
berusah merumuskan apa dan bagaimana kondisi dan cara memahami yang akurat
,tepat dan layak serta benar. Berbagai teori, konsep dan disiplin keilmuan pun
muncul khusus untuk mengurusi bidang ini , satu diataranya yaitu Hermeneutika.[1]
Apa yang
dilakukan oleh Fazlurrahman ,Arkoun ,Abu Zayd yang lainya adalah contoh-contoh
bagaimana “mengolah” Al-Qur’an dengan hermeneutika. Hermeneutika, sebagaimana
disebut diatas, Pada dasarnya merupakan suatu metoda penafsiran yang berangkat
dari analisis bahasa dan kemudian melangkah pada analisis konteks, untuk
selanjutnya”menarik” makna yang dapat kedalam
ruang dan waktu saat pemahaman
dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan
kajian teks Al-Qur’an , maka persoalan tema pokok yang dihadapi adalah
sebagaimana teks Al-Qur’an hadir ditengah-tengah
masyarakat,dipahami,ditafsirkan,diterjemahkan ,dan didialogkan dengan dinamaika
relitas historisnya.[2]
Oleh karena itu salah satu hal yang mendasari
dilakukannya penulisan ini adalah untuk mengetahui mengenai hermeneutika Fazlur
Rahman secara mendalam.
1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian hermeneutika?
2. Bagimana Biografi Fazlur
Rahman ?
3. Bagaimana pemikiran islam?
4. Bagaimana Gagasan
Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman?
5. Bagaimana Aplikasi
Teori Hermeneutika Fazlur Rahman?
6. Bagaimana kajian
dan pengkritisan terhadap hermeneutika Rahman?
HERMENEUTIKA FAZLUR RAHMAN
- Pengertian HermeneutikaHermeneutika adalah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Definisi tersebut masih terlalu umum, bila dilihat secara termenologinya, kata hermeneutika berarti:
- Pengungkapan pikiran dalam kata-kata ,penerjemahan dan tindakan sebagai penafsir.
- Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui kedalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
- Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.[3]
- Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir
di Hazara Pakistan 21 September 1919. Di
Distrik Hazara, Punjab suatu daerah di anak benua indo Pakistan. Ia dibesarkan
dalam keluarga dengan tradisi ke agamaan madhab Hanafi yang cukup kuat.
Meskipun ayahnya terdiri dalam pola pemikiran islam tradisional, namun demikian
ayahnya tetapi berkeyakinan bahwa islam senantiasa melihat moderanitas sebagi
tantangan sekaligus sebagai kenyataan yang harus dihadapi.[4]
Ia lahir di tengah suasana perseteruan tiga kubu, kaum modernis, tradisionalis,
dan fundamentalis. Kaum modernis merumuskan Negara Islam dalam bingkai ideologi
modern. Kaum tradisionalis menawarkan konsep Negara Islam tradisional; khilafah
dan imamah. Sedangkan kaum fundamentalis mengusung ide ‘kerajaan Tuhan’.
Dari konsepsinya
ini, Rahman secara ilmiah, paling tidak, mengkritisi tiga komunitas, pertama,
kalangan Tradisionalis yang berupaya menghidupkan kembali warisan kehidupan
keagamaannya, kedua, kalangan Fundamentalis, yang menampilkan Islam terikat
secara literal pada akar spiritualnya dan antagonis dengan Barat, dan ketiga,
kalangan Modernis yang menyuguhkan sebuah Islam bersandar pada akar
spiritualitasnya, namun juga tampak kebarat-baratan. [5]
Latar belakang ini menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan
Islam dan berbagai metodologi pemikiran. Di tengah perdebatan inilah,
setelah menyelesaikan studinya di Lahore dan Oxford University, Rahman tampil
mengemukakan gagasan pembaharuannya dalam bentuk tulisan – tulisan untuk
memberikan pemahaman pada banyak orang.
Baik penulis-penulis yang muslim maupun non muslim
telah banyak sekali menulis mengenai Al-Qur’an. Dalam pembahasan kitab suci ini
sebagian besar diantara penulis penulis
muslim mengambil dan menerangkan ayat demi ayat. Disamping itu penulisan juga
dilakukan untuk membela sudut pandang tertentu, prosedur penulisan itu sendiri
tidak dapat mengemumakan pandangan alquran yang kohesif terhadap alam semesta
dan kehidupan.[6]
- Neomodernisme dan Pembaharuan Pemikiran Islam
Secara historis,
arus pemikiran keislaman dikuasai oleh dua kecenderungan, yaitu pertama,
kecenderungan mensakralkan teks serta tradisi, dan kedua, kecenderungan untuk
mendekontruksi pensakralan tersebut.[7]
Neomodernisme yang ditawarkan Rahman bertitik tolak pada ide pembaharuan
pemikiran dan mencoba membongkar doktrin-doktrin Islam.
Rahman berharap
dapat menggabungkan kelompok yang pertama tanpa menjadi Tradisionalis dengan
komunitas yang ketiga tanpa larut menjadi kebarat-baratan. Gabungan dari dua
kelompok di atas dikenal dengan Neomodernisme
adalah suatu sikap kritis terhadap Barat, juga warisan-warisan
kesejarahannya sendiri secara obyektif. Oleh karena itu, Rahman menganggap
bahwa suatu bentuk pengembangan pemikiran Islam yang tidak berakar dalam
sejarah (pemikiran klasik) atau luput dari kemampuan menelusuri benang merah
kesinambungannya dengan masa lalu adalah tidak outentik.[8]
- Gagasan Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman
Metodologi tafsir al-Qur’an Fazlur
Rahman dinisbatkan dengan hermeneutika, bukan tafsir, ta’wil dalam
pengertian konvensional sebagaimana yang lazim digunakan oleh para mufasir. Ada
tiga kata kunci dalam memahami hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman:
1. Pendekatan Sosio-Historis
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat kembali sejarah yang
melatari turunnya ayat. Ilmu asbabun nuzul sangat penting dalam hal ini.
Atas dasar apa dengan motif apa suatu ayat diturunkan akan terjawab lewat
pemahaman terhadap sejarah. Pendekatan historis hendaknya dibarengi dengan
pendekatan sosiologis, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada
masa al-Qur’an diturunkan. Dalam ranah sosiologis ini, pemahaman terhadap
al-Qur’an akan senantiasa menunjukkan elastisitas perkembangannya tanpa
mencampakkan warisan historisnya. Dengan demikian universalitas dan
fleksibilitas al-Qur’an senantiasa terjaga.
Di sini perlu dibedakan antara Islam normatif dan Islam historis. Islam
normatif adalah sumber norma dan nilai yang mengatur seluruh tata kehidupan. Ia
bersifat universal. Sedangkan Islam historis merupakan Islam yang diterjemahkan
oleh umat Islam sepanjang sejarah. Meskipun Islam normatif sebagai penilai
terhadap Islam historis, yang terakhir ini tidaklah lantas dibuang begitu saja
karena diperlukan untuk pengoperasian sosio-historis. Dengan begitu umat Islam
akan memiliki landasan untuk membicarakan ajaran agamanya.
Dalam pandangannya,historisisme in terdapat dalam al-quran itu sendiri.
Menurutnya al-quran telah memperlihatkan suatu corak mengkontekstualisasikan
ayat-ayat tersebut, agar selaras dengan realisasi yang memadai dari
prinsip-prinsip yang dicakup.[9]
2. Teori Gerakan Ganda
Langkah berikutnya setelah
penekanan pada pendekatan sosio-historis adalah pentingnya membedakan antara
legal spesifik dan ideal moral yang dikenal dengan istilah gerakan ganda (double
movement). Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan al-Qur’an.
Sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus.
Ideal moral al-Qur’an lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifiknya sebab ideal moral bersifat universal. Dengan ini Rahman berharap
agar hukum-hukum yang akan dibentuk dapat mengabdi pada ideal moral, bukan
legal spesifiknya karena al-Qur’an selalu memberi alasan bagi pernyataan legal
spesifiknya.
Langkah yang dilakukan, pertama
memperhatikan konteks mikro dan makro ketika ayat diwahyukan. Konteks mikro
adalah situasi sempit yang terjadi dilingkuangn Nabi ketika Al – Qur’an
diturunkan. Sedang konteks makro adalah situasi yang terjadi dalam skala yang
lebih luas, menyangkut masyarakat, agama dan adat istiadat Arabia pada saat
datangnya Islam, khususnya di Makkah dan sekitarnya. Disini lah, konsep asbabun
nuzul dan nasikh-mansukh amat diperlukan.
Menurut Rahman, Al – Qur’an adalah respon ilahi,
yang diturunkan melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi sosio-moral
Arab pada masa Nabi. Sehubungan dengan pernyataan ini, ia mengatakan: ”Al –
Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah. Sedang dalam pengertian biasa,
juga seluruhnya adalahperkataanMuhammad”[10]
Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dan sosial.
Kedua, menerapkan nilai dan prinsip umum tersebut pada konteks pembaca al-Qur’an kontemporer. Pendekatan ini oleh Rahman digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum dan sosial.
3. Pendekatan Sintetis-Logis
Jika dalam memahami ayat-ayat hukum dan sosial Rahman menggunakan
pendekatan sosio-historis dan gerakan ganda, tidak demikian halnya ketika
Rahman berhadapan dengan ayat-ayat metafisi-teologis. Untuk wilayah ini, Rahman
menggunakan pendekatan sintetis-logis. sintetis-logis adalah pendekatan yang
membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan
tema yang dibahas.
Rahman, dalam buku Major Themes of
the Qur’an-nya, terdeteksi secara keseluruhan memuat aspek-aspek
metafisis-teologis, metode interpretasi sistematis hampir sama sekali tidak
diterapkan. Hal ini dikarenakan untuk kedua wilayah garapan tersebut prosedur
yang lebh tepat dikenakan adalah pendekatan sintesis logis. Dalam pendahuluan
buku tersebut, Rahman mengatakan :
”kecuali dalam penggarapan beberapa tema
penting semisal aneka komuniksi agama, kemungkinan dan aktualitas mukjizat,
serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan evolusi Al – Quran, prosedur yang
dipergunakan dalam mensistesis tema-tema lebih bersifat logis katimbang
kronologis”[11]
Rahman dengan tegas membedakan antara sunnah dengan hadits. Sunnah
adalah tradisi Nabi yang hidup, sedangkan hadits adalah tradisi lisan Nabi yang
sudah tertulis dengan melampaui berbagai problem sejarah.
Rahman juga membatasinya secara transparans antara yang ideal moral
(sunnah konseptual) dengan yang murni hukum (teks legal spesifik atau sunnah
literal) al-Qur’an.
- Aplikasi Teori Hermeneutika Fazlur Rahman
- Hukum
Rasionalisasi Hukum
Islam (Fiqh) Berkaitan dengan pemikiran Rahman di atas, maka upaya
rasionalisasi hukum Islam dapat dilakukan yaitu dengan mengkaji ulang tradisi
Islam (yang mandul dan tertutup) dengan cara merombak kembali asal-usul
keseluruhan tradisi Islam dan menemukan tujuan dan sasaran substansial yang
terdapat dalam teks hukum spesifik.
Ijma‘ tidaklah
statis, tetapi berkembang secara kreatif dan dinamis serta berorientasi ke masa
depan, demikian pula Ijtihad. [12]Oleh
sebab itu, hubungan organik Ijtihad-Ijma‘ harus diwujudkan saat ini. Kalau
hubungan ini dapat diwujudkan, Rahman yakin Hukum Islam dapat merespons
tantangan zaman.
Proses menemukan
prinsip-prinsip umum dari teks-teks legal spesifik al-Qur’an, yang
dikonsepsikan Rahman, dapat dilakukan dengan metode qiyas. Dalam metode
tersebut, ide pokoknya, yaitu bahwa yang mendasari setiap aturan legal spesifik
al-Qur’an dan as-Sunnah adalah suatu prinsip umum.
Poligami
Poligami merupakan
isu yang selalu muncul dalam hukum keluarga. Secara umum ulama Pakistan
berpandangan bahwa poligami dibolehkan dalam Islam bahkan dijustifikasi dan
ditoleransi oleh al-Qur’an sampai empat istri. Pandangan ini bagi Rahman
mereduksi iedal moral al-Qur’an. Praktik ini tidak sesuai dengan harkat wanita
yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagaimana dinyatakan
al-Qur’an.
Karena itu,
pernyataan al-Qur’an yang membolehkan poligami hendaknya dipahami dalam nuansa
etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan al-Qur’an yang tidak
mungkin dipenuhi laki-laki, yakni berlaku adil. Dalam kasus ini, klausa tentang
berlaku adil harus mendapatkan perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih
mendasar ketimbang klausa spesifik yang membolehkan poligami. Jadi, pesan
terdalam al-Qur’an tidak menganjurkan poligami, melainkan monogami. Itulah
ideal moral yang hendak dituju al-Qur’an.
Potong Tangan
Dalam hukum potong
tangan bagi pencuri, menurut Rahman, ideal moralnya adalah memotong kemampuan
pencuri agar tidak mencuri lagi. Secara historis-sosiologis, mencuri menurut
kebudayaan Arab tidak saja dianggap sebagai kejahatan ekonomi, melainkan juga
kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri manusia. Namun sejalan
perkembangan jaman, mencuri hanyalah kejahatan ekonomi, tidak ada hubungannya
dengan pelecehan harga diri. Karenanya, bentuk hukumannya harus berubah.
Mengamputasi segala kemungkinan yang memungkinkan ia mencuri lagi dapat
dilakukan dengan berbagai cara yang lebih manusiawi, misalnya penjara atau
denda. Jadi hukum potong tangan adalah budaya Arab, bukan hukum Islam.
- Metafisika
Tuhan
Al-Quran
adalah sebuah dokumen untuk ummat manusia yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
manusia. Perkatan Allah, nama Tuhan yang sesungguhnya, lebih dari 2500 kali
disebut didalam Al-Qur’an (tidak terhitung ar-Rabb,Ar-Rahman ,dll). Meskipun
demikian Al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifatNya.
Menurut Al-Qur’an, eksistensi Tuhan benar-benar bersifat fungsional- Dia adalah
pencipta serta pemelihara alam semesta dan manusia, terutama sekali Dialah yang
memberikan petunjuk kepada manusia yang akan mengadili manusia nanti, baik
secara individual maupun secara kolektif, dengan keadilan yang penuh belas
kasih.[13]
Sebuah
pertanyaan pertama yang perlu kita utarakan adalah : mengapa kita harus
mempercayai adanya Tuhan ? mengapa kita tidak membiarkan alam beserta berbagai
proses dan segala isinya berdiri sendiri tanpa meyakini adanya yang lebih
tinggi dari alam,dan hanya merumitkan realitas serta memberatkan akal pikiran
dan akal manusia ? Al-Qur’an menyatakan keyakinan kepada yang lebih tinggi dari
pada alam itu sebagai “ keyakinan dan kesadaran terhadap yang gaib”(2:3; 5:94;
21:49; 35:18; 36:11; 50:33; 57:25; 67:12) walaupun tidak dapat dipahami dengan
sempurna oleh siapapun juga kecuali oleh Tuhan sendiri.[14]
Dalam interpretasi
tentang Tuhan, Rahman merespon dua pemikiran, Barat dan Muslim. Orang Barat
banyak yang menggambarkan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai suatu konsentrasi
kekuatan semata, bahkan sebagai kekuatan yang kejam; raja zalim. Di kalangan
Muslim Mu’tazilah dan Asy’ariyah telah mereduksi makna hubungan Tuhan dan
manusia. Mu’tazilah memberi peran yang besar kepada manusia dan mengecilkan
peran Tuhan sehingga manusia tampak benar-benar ”bertanggungjawab”. Asy’ariyah
memandang manusia tidak memiliki kekuatan sama sekali, sehingga Tuhan tampak
sebagai yang maha kuasa. Sementara kaum sufi menganut paham pantheisme, semua
adalah Tuhan.
Menurut Rahman, ada
tiga hal yang sering ditekankan al-Qur’an sebagai upaya pemberian peringatan
kepada manusia, (1) segala sesuatu selain Tuhan bergantung kepada tuhan, (2)
Tuhan adalah Maha Pengasih, dan (3) aspek-aspek ini mensyaratkan hubungan yang
tepat antara Tuhan dan manusia, hubungan yang dipertuan dan hamba-Nya, yang
pada akhirnya mengkonsekuensikan hubungan yang tepat pula di antara sesama
manusia.[15]
Jadi Tuhan dalam
kelimpahan Kasih sayang-Nya menciptakan alam dan manusia telah memberikan
manusia kesadaran kemauan untuk yang diperlukannya untuk memperoleh pengetahuan
dan memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk menyadari hidup yang
sesungguhnyayang tak lain untuk mengabdi kepada Allah.[16]
Manusia
Dalam konteks ini,
ada suatu pembahasan Rahman yang menarik, yaitu kritisimenya pada filsafat
Yunani yang kemudian di anut secara massif di lingkungan keilmuan Islam, yaitu
tentang dualisme dalam diri manusia. Bahwa manusia terdiri dari dua substansi
yang berbeda, bahkan bertentangan: ruh dan raga. Pemahaman seperti ini juga
dianut dalam ajaran kristen dan Hindu.
Menurut Rahman,
tidak ada satu ketetapan pun di alam Al – Qur’an yang dapat membenarkan
pemahaman itu. Istilah nafs yang kerap dipakai Al – Qur’an dan
diterjemahkan sebagai jiwa (soul) pada dasarnya berarti sosok (person) atau
diri (self). Penerjemahan nafs sebagai jiwa kurang tepat. Sebab jika
dipahami seperti itu, maka ada yang tertinggal dari manusia, yaitu raganya.
Seperti dilukiskan Al – Qur’an, manusia adalah sebuah organisme utuh yang
berfungsi dengan cara tertentu. Manusia bukanlah tubuh wadah atau jasmaninya
saja, melainkan mencakup pula bagian dalam dirinya, yang dapat disebut jiwa.
Keduanya membentuk satu unit yang terorganisasi.
- Pengkajian dan pengkritisan terhadap hermeneutika Rahman
Pengkajian dan
pengkritisan terhadap hermeneutika Rahman terus dilakukan ,namun walaupun
begitu ia tetaplah dipandang sebagai kontribusi besar bagi pembangunan keilmuan
Islam. Menariknya, kendati Rahman terkesan mengsubordinasikan pendekatan
keilmuwan Islam klasik, warisan mereka tetap saja diserapnya. Bahkan menjadi
landasan picu bagi pembangunan hermeneutika Al- Qurannya. Karena sejatinya
teori ini berimplikasi pada:
1. Pengembangan keilmuan Islam
Rahman menyuguhkan
metodologi baru dan menamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika
difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an. Dimana dalam
karyanya memadukan akar tradisional Muslim dengan temuan hermeneut Barat
modern.
2. Mengubah paradigma dari
metafisik-teologis ke etis-antropologis
Teori gerakan ganda
membuat hermeneutika Rahman menebarkan nilai-nilai etis karena ideal moral
menjadi tujuan utamanya.
3. Menegakkan etika sosial dalam
Islam modern.
Rahman memiliki tujuan
yang diharapkan akan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahluk
luhur.
Rahman yakin bahwa metodologi itu semaksimal
mungkin dimaksudkan agar:
- Terhindar dari ijtihad yang tidak bertanggung jawab.
- Dapat melakukan rekontruksi sistematis atas Islam namun tetap berpegang pada akar-akar spiritualnya.
- Mampu menjawab berbagai kebutuhan dan permasalahan Islam kontemporer, tanpa bertekuk kepada barat atau menafikannya.
PENUTUP
Hermeneutika
Fazlur rahman adalah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
tahu dan mengerti. Fazlur Rahman lahir di
Hazara di Pakistan. Ia dibesarkan
dalam keluarga dengan tradisi ke
agama madhab Hanafi yang cukup kuat. Rahman menganggap bahwa suatu bentuk
pengembangan pemikiran Islam yang tidak berakar dalam sejarah (pemikiran
klasik) atau luput dari kemampuan menelusuri benang merah kesinambungannya
dengan masa lalu adalah tidak outentik. Rahman
mulai menggulirkan konsepnya, yakni, pertama, membedakan sunnah dengan hadits,
dan kedua, membatasinya secara transparans antara yang ideal moral (sunnah
konseptual) dengan yang murni hukum (teks legal spesifik atau sunnah literal)
al-Qur’an. Dalam merealisasikan pemikirannya, Rahman memformulasikan metodologi
tafsir al-Qur’an dengan model gerakan ganda (double movement) sebagai bentuk
aplikasinya. Satu hal yang sangat
ditekankan Rahman adalah keniscayaan melacak sejarah masa lalu (pendekatan
histories) dan menangkap sosio-moral masyarakat. Pendekatan ini ditujukan dalam
rangka mengetahui secara outentik substansi ajaran Islam. Dengan begitu, Islam
terutama aspek hukumnya dapat diharapkan mampu menjawab tantangan modernitas. .
DAFTAR PUSTAKA
Fahruddin Faiz,Hermeneutika
Al-Qur’an,eLSAQ.Yogyakarta.2005.
Fazlur Rahman, Tema Pokok
Al-Qur’an Fazlur Rahman.Pustaka Bandung.1996
Fazlur Rahman, Islam dan Modernity,
Komaruddin
Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutik” dalam Tradisi, Kemodernan, dan
Metamodernisme (JH Mouleman:Penyunting), LkiS, Yogyakarta, 1996
Nurcholis Majid, “Fazlur Rahman dan Rekontruksi Etika al-Qur’an”,
dalam Jurnal Islamika.
Prof. Dr. H. Nur Syam, M. S. I, Relasi
Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer.,
Taufik
Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1994
[2]
Ibid.hlm.15
[3]
Ibid.hlm.5
[5]
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1994 hlm. 65
[7]
Komaruddin Hidayat, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutik” dalam Tradisi, Kemodernan,
dan Metamodernisme (JH Mouleman:Penyunting), LkiS, Yogyakarta, 1996, hlm. 33
[8]
Nurcholis Majid, “Fazlur Rahman dan Rekontruksi Etika al-Qur’an”, dalam Jurnal
Islamika, Op. Cip.,
hlm. 24.
[12]
Fazlur Rahman, Islamic …, hlm. 171-172.
[14]
Ibid,h.2
[15]
Ibid,.h.3-4
[16]
Ibid,.h.13
Comments
Post a Comment